Masalah Dwelling Time Belum Jelas
Kontroversi dwelling time (waktu tunggu di pelabuhan) hingga kini belum jelas. Komisi VI telah memanggil Dirut PT. Pelindo II untuk menjelaskan, tapi tak kunjung mendapat kejelasan, sehingga rapat disudahi, hingga mendapat penjelasan yang memadai dari otoritas pelabuhan.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana Senin, (29/6), usai rapat dengan Dirut Pelindo II RJ. Lino dan Deputi BUMN bidang Usaha Konstruksi, Saran, dan Prasarana Gatot Trihargo. Banyak kritik dari para anggota Komisi VI soal ini, tapi Dirut Pelindo II tak memberikan penjelasan di mana sesungguhnya persoalan keterlambatan bongkar muat pelabuhan.
Masalah ini mencuat ketika Presiden Joko Widodo meninjau langsung Pelabuhan Tanjung Priuk. Ternyata ditemukan masalah keterlambatan bongkar muat. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua itu bervariasi ada yang seminggu sampai satu bulan. Itu dinilai terlalu lama, sehingga banyak kapal dan barang menumpuk di pelabuhan, menunggu giliran bongkar muat.
Azam mengungkapkan, pelayanan satu atap yang dicanangkan pemerintah dengan mengintegrasikan 8 lembaga terkait ternyata belum berfungsi. “Satu hari sebelum presiden ke priuk, ternayata ruang satu atap pengurusan kepelabuhan masih kosong. Kemudian besoknya presiden ke sana sudah penuh. Tapi, orangnya tidak jelas. Sehingga waktu presiden tanya tidak bisa jawab. Jawabannya tidak fokus,” terang Azam.
Selama ini, lanjut Anggota F-PD itu, belum ada kepastian kapan kapal bisa sandar dan pergi lagi. Komisi VI belum menemukan akar masalah yang substansial mengapa pengurusan bongkar muat barang di pelabuhan begitu lama. Komisi VI sudah mendesak Dirut Pelindo II untuk menemukan titik masalahnya di pelabuhan. “Kalau masalah ini tak terselesaikan, tidak ada gunanya ada Pelabuhan Kalibaru yang menalan investasi hingga Rp 10 triliun.
Dirut Pelindo juga menyampaikan bahwa selama ini banyak pemilik barang tidak segera mengambil barangnya setelah melewati pemeriksaan bea dan cukai, sehingga membuat pelabuhan penuh dengan barang. Menurut Azam, ini perlu pengaturan baru lagi dari Menteri perhubungan.
“Begitu bea cukai selesai, harus segera diambil supaya tidak memenuhi are pelabuhan. Peraturan pelabuhan selama ini bila masih 65 persen terutilisasi masih boleh. Nah, ini harus dirubah. Ini yang kita tangkap dari penjelasan Pak Dirut,” Masalah lain yang juga penting adalah sistem layanan kepelabuhan masih menggunakan sistem hard copy. “Hard copy sumber segala permasalahn. Tapi, kalau sudah elektronik pasti terkontrol. Bisa terlihat di mana lambatnya,” ujarnya lagi. (mh) Foto: Jaka Nugraha/parle/od